Rabu, 06 Juli 2011

Dari Banua ke Tamiang

Oleh Iskandar Norman

M Junus Djamil dalamTawarich Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menceritakan, raja pertama bergelar Meurah Gajah, 580-599 H (1184-1213 M). Raja terakhir sebelum Islam adalah Makhdum Saat (Panglima Eumping Beusoe), 723-753 H (1323-1353 M), berasal dari Peureulak dan perkawinannya dengan Putri Raja Mala (678-723 H), diperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Muda.

Tuhoe 7 Asoe Nanggroe Tamia

Pada waktu pemerintahan Eumping Beusoe, datanglah rombongan mubaligh dari Peureulak yang dipimpin seorang ulama, Teungku Ampon Tuan, yang kemudian Kerajaan Tamiang menjadi Kerajaan Islam. Putri Teungku Ampon Tuan dinikahkan dengan Putera Mahkota Kerajaan Raja Muda. Dari perkawinan tersebut, lahir seorang puteri yang bernama Puteri Lindung Bulan.

Setelah Raja Eumping Beusoe mangkat, diangkat Raja Muda menjadi Raja Kerajaan Islam Banua dengan gelar Raja Muda Seudia, sekaligus raja pertama Kerajaan Islam Banua (setelah namanya diubah menjadi Kerajaan Islam Tamiang), yang memerintah selama 47 tahun, 753-800 H (1353-1398 M).

Pada masa pemerintahan Raja Muda terjadi agresi Majapahit yang dipimpin Patih Nala pada 7I9 H (1377 M). Angkatan perang Majapahit menduduki Pulau Kampai di Selat Malaka. Patih Nala mengirim utusan kepada Raja Muda Seudia, meminta Raja untuk menyerahkan puterinya (Puteri Lindung Bulan) untuk persembahan pada Raja Majapahit, Prabu Rajasanagara Hayam Wuruk.

Raja Muda Seudia menolak permintaan itu. Karena itu, Patih Nala melakukan agresi terhadap Kerajaan Islam Banua. Karena diserang, Raja Muda Seudia dan rakyat mengadakan perlawanan dengan gigih. Angkatan perang Majapahit mengalami kerugian besar di Kota Kuala Peunaga dan Aron Meubajee. Selain itu, di ibukota kerajaan terjadi perang besar sehingga semua bangunan hancur, terbakar, dan diruntuhkan.

Pada saat kritis tersebut, datang bantuan pasukan beserta perlengkapan perang dari Kerajaan Islam Peureulak dan Kerajaan Samudera/Pase (sekutu Banua dalam federasi). Akhirnya, tentara Majapahit mengalami kekalahan dalam medan tempur dan Majapahit mengurungkan niat untuk menjajah Kerajaan Banua. Setelah Raja Muda Seudia mangkat pada 800 H (1398 M), Kerajaan Islam Banua menjadi kacau sehingga terpecah menjadi tiga kerajaan kecil (Kerajaan Negeri Karang, Kerajaan Kuala Peunaga, dan Kerajaan Negeri Indra/Daerah Alas).

Perebutan Putri Lindung Bulan

Masmani merupakan ibu kota Kerajaan Banua, setelah enam bulan berhentinya peperangan, satu pasukan Majapahit mendarat di daerah Pulau Kampey, Pangkalan Susu. Mereka kembali ke Banua melalui jalan rimba. Sementara pasukan kerajaan Banua waktu itu sudah dikerahkan untuk berjaga-jaga di daerah pantai. Maka dengan mudah pasukan Majapahit menyerang kota itu yang hanya dikawal oleh beberapa penjaga istana.

Permaisuri dan keluarga raja penghuni istana melarikan diri melalui pintu rahasia ke sungai dan meninggalkan kota itu dengan menggunakan sampan. Tapi Putri Lindung Bulan yang terlambat lari dapat ditawan pasukan Majapahit. Istana dibakar dan harta kerajaan dirampas. Putri Lindung Bulan dibawa lari pasukan itu melalui jalan rimba.

Hari itu juga berita ditawannya Putri Lindung Bulan sampai kepada Tgk Ampon Tuan dan Raja Muda Peuseunu serta para panglima kerajaan Banua yang berjaga-jaga di pantai. Mereka kemudian memburunya dengan memotong jalan. Sampai di sebuah sungai mereka menemukan pasukan Majapahit sedang tertidur.

Pasukan Raja Muda Peuseunue kemudian menyerangnya, sementara pasukan lainnya membawa lari Putri Lindung Bulan ke seberang sungai. Tempat pertempuran itu kemudian dikenal sebagai Lhok Batee Tjuleem. Pasukan yang membawa lari Putri Lindung Bulan sampai di sebuah bukit sudah ditunggu oleh pasukan Tgk Ampon Tuan. Tempat itu kemudian dinamai Bukit Selamat.

Sisa pasukan Majapahit yang selamat dari pertempuran itu kemudian melarikan diri dan kembali ke pangkalannya di Pulau Kampey. Ketika sampai di sebuah bukit, pasukan itu bertemu dengan pasukan Laksamana Kantom Mano, pertempuran pun kembali terjadi. Tempat pertempuran itu dinamai Bukit Timbun Tulang. Hanya sedikit sisa-sisa pasukan Majapahit yang selamat dari perang itu yang bisa kembali ke pangkalannya di Pulau Kampey.

Putri Lindung Bulan dibawa pulang ke pusat kerajaan Banua di Kota Masmani, tapi kota itu sudah lebuh dibakar oleh pasukan Majapahit. Raja Muda Seudia kemudian memindahkan ibu kota kerajaa ke daerah Tanah Indra. Sementara Bandar Kuala Peunaga dan Kuta Aron Meubanjee tetap menjadi pelabuhan dan perniagaan Negeri Banua.

Pada tahun 800 Hijriah (1398 Masehi) Raja Muda Seudia meniggal. Setelah itu Kerajaan Banua pecah menjadi tiga kerajaan yakni, Negeri Indra di daerah Alas dan diperintahkan oleh Raja Muda Peuseunue, Negeri Karang yang diperintahkan oleh RajaKelabu Tunggal, anak dari Raja Malat. Satu lagi daerah pesisir di Kuala Peunaga/Aron Meubajee yang diperintah oleh Siruntum Mano anak dari Laksamana Kantom Mano. Setelah itu tak ada lagi riwayat Negeri Banua.

Tamiang dalam Sejarah dan Legenda

Dalam sumber lainnya Tarikh Aceh dan Nusantara, sejarawan Aceh H M Zainuddin menjelaskan, zaman dahulu Tamiang merupakan sebuah kerajaan yang mencapai kejayaan dibawah pimpinan Raja Muda Sedia (1330-1366). Ketika menjadi bagian dari Kerajaan Aceh, Tamiang diberikan hak tumpang gantung.

Hak tumpang gantung itu diberikan bersamaan dengan cap sikureueng. Atas wilayah negeri Karang dan Negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sultan Muda Seruwey, Negeri Sungai Iyu, Negeri Kaloy dan Negeri Telaga Meuku yang merupakan wilayah-wilayah yang tidak mendapatkan cap Sikureung, dijadikan sebagai wilayah protektor bagi wilayah Kerajaan Tamiang.

Sejarah kuno tentang Tamiang disebutkan nama Tamiang berasal dari legenda “Te-Miang” yang bermakna tidak kena gatal atau kebal terhadap gatal miang rubung bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang raja Tamiang yang bernama Pucok Suloh, ketika masih bayi di temui dalam rumpun bambu Betong (istilah tamiang “buloh”) dan raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil Bayi tersebut. Setelah dewasa di nobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar “ Pucok Suloh Raja Te – Miyang ”, yang artinya “ seorang raja yang ditemukan di rumpun rebung, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal”.

H M Zainuddin menjelaskan, ada beberapa data yang menyangkaut dengan Kerajaan Tamiang, antara lain: Prasasti Sriwijaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam “ The Great Tamralingga (Capable of) Strong Action in Dangerous Battle” (Moh. Said 1961:36). Data Kuno Tiongkok (dalam buku “Wee Pei Shih” ) ditata kembali oleh I V Mills, 1937, halaman 24 tercatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) yang berjarak (5 Km Laut) dari Diamond Point (posri).

Kerajaan Islam Tamiang dalam The Rushinuddin’s Geographical Notices (1310 M). Tercatat sebagai “Tumihang” dalam Syair 13 buku Negara Kartagama (M Yamin, 1946 : 51). Benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang (Penemuan T Yakop, Meer Muhr dan penulis Sartono dkk). Dalam perjalanan sejarahnya, sama seperti kerajaan-kerajaan kecil lainnya di nusantara, kerajaan Tamiang runtuh.

Tamiang Masa Kolonial

Ketika ekspansi pemerintah kolonial Belanda menduduki nusantara pada tahun 1908 oleh Belanda wilayah Tamiang dimasukkan dalam Goveurnement Atjeh en Onderhoorigheden, yang artinya wilayah tersebut berada dibawah status hukum Onderafdelling. Status ini ditetapkan melalui perubahan Staatblad nomor 112 tahun 1878.

Tamiang pun kemudian menjadi bagian dari wilayah Afdelling Oostkust van Atjeh (Aceh Timur) dengan beberapa wilayah landschaps berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder dengan status hukum Onderafdelling Tamiang termasuk wilayah-wilayah : Landschaps Karang, Landschaps Seruwey/sultan Muda, Landschaps Kejuruan Muda, Landschaps Bendahara, Landschaps Sungai Iyu, Goveurnement gebied vierkantepaal Kuala Simpang.

Selanjutnya Tamiang yang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur, dijadikan wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah III, yang meliputi kewedanan Tamiang. Hal itu dilanjutkan dengan tuntutan pemekaran daerah di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak tahun 1957, termasuk eks kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom.

Kemudian usulan tersebut mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil sidang umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah – Gotong Royong (DPRD – GR) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam usul memorandumnya tentang Pelaksanaan Otonomi Riel dan luas dengan Nomor B-7/DPRD–GR/66, terhadap Pemekaran Daerah yang dianggap sudah matang untuk di kembangkan secara lengkap adalah sebagai berikut:

Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane. Bekas daerah Kewedanaan Bireuen, menjadi Kabupaten Bireuen dengan ibukota Bireuen. Tujuh kecamatan dari bekas kewedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukota Blang Pidie. Bekas Daerah “Kewedanaan Tamiang” menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibukotanya Kuala Simpang. Bekas daerah kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan ibukotanya Singkil. Bekas kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan ibukotanya Sinabang. Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.

Peningkatan status Tamiang menjadi kabupaten kala itu mendapat dukungan dari: Bupati Aceh Timur, dengan surat No.2557/138/ tanggal 23 Maret 2000, tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah III Kuala Simpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang kapada DPRD Kabupaten Aceh Timur.

Ditambah dengan dukungan DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086 /100– A/2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032 / 138 tanggal 4 Mei 2003 kepada Gubernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138 /9801 tanggal 8 Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

Lalu surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378 / 8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang. Serta surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135 / 1764 tanggal 29 Januari 2001 kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Cq. Dirjen PUOD tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati dan Kota Administrasi menjadi Daerah Otonom. Setelah itu Tamiang menjadi sebuah daerah pemerintahan tersendiri, memisahkan diri dari kabupaten indunya Aceh Timur menjadi Kabupaten Aceh Tamiang

Rabu, 27 Oktober 2010

Pho He La, peradaban tua Peureulak


Sebuah peradaban terajut di Pereulak. Daerah yang sangat bergolak di masa konflik itu, punya sejarah keunikan tersendiri. Negeri Peureulak didirikan oleh suku Syahril Nuwiy, bernama Pho He La. Namun terkenal sampai ke negeri Arab Berkah Nakhoda Kalifah. Karena itu pula, ibu kota kerjaan Islam Peureulak dinamai Bandar Khalifah.

Sejarah Aceh tak pernah lekang dari Pereulak, sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Timur. Beragam sejarah tertoreh di daerah itu. Peureulak dulu merupakan bandar besar, pusat peradaban, tapi Peureulak kini adalah kota kecil yang tak pernah lekang dari pergolakan. Ia merupakan salah satu simpul konflik di negeri ini, yang menuntut sebuah pembaharuan menuju perdamaian Aceh yang sesungguhnya.

Sebuah catatan lama Abu Ishaq Makarani Pase, dalam Risalah Idharul-Haq fi Mamlaka Peureulak, menggambarkan Peureulak sebagai bandar, pusat perdagangan yang sangat ramai pada tahun 173 Hijriah, atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh.

Pada tahun tersebut, datang ke Peureulak sebuah rombongan pedagang, yang dipimpin oleh nakhoda Khalifah. Mereka merupakan saudagar-saudagar Arab, Persia dan India muslim. Mereka datang ke bandar Peureulak untuk membeli lada, salasari, dan berbagai rempah-rempah lainnya.

Setelah tiga bulan mengumpul rempah-rempah, mereka kemudian kembali ke negerinya. Tapi tak lama kemudian, saudagar-saudagar dari negeri Arab lainnya datang, setelah mengetahui asal barang yang dijual oleh nakhoda Khalifah dan rombongannya. Maka sejak itu pula Bandar Khalifah menjadi terkenal.

Seiring dengan itu pula, para pendatang dari Arab tersebut menyebarkan agama Islam di Peureulak. Islam semakin cepat berkembang, apalagi setelah Islam diterima oleh raja Peureulak. “Dua ratus dua puluh lima tahun, pada hari selasa, maka naiklah raja Sultan Marhum Alaiddin Maulana Abdul Aziz Syah Zillullah Fil Alam. Dan adalah lama dalam tahta kerajaan dua puluh empat tahun, maka ia pun meninggal pada hari Ahad, dua hari bulan Muharram pada waktu zuhur intaha kalam,” tulis Abu Ishaq Makarani Pase dalam risalah tersebut.

Untuk mengenang nakhoda Khalifah yang telah membuat bandar Peureulak terkenal sampai ke negeri Arab, maka ibu kota negeri pemerintahan Islam di Peureulak dinamai Bandar Khalifah. Sampai tahun 306 Hijriah atau 918 Masehi Kerajaan Islam Peureulak dipimpin oleh sultan-sultan dari dinasti Sayid Maulana yang menganut paham syiah. Sampai akhirnya terjadi pertentangan dari golongan ahlus sunnah wal jamaah. Karena pertentangan itu pula, Peureulak kemudian dibagi menjadi dua bagian pemerintahan. Sebagian wilayah yang menganut paham syiah tetap dipimpin oleh sultan dari dinasti Saiyid Maulana.

Sementara sebagian lagi diperintah oleh para pengikut ahlus sunnah wal jamaah, yang rajanya diangkat dari keturunan maharaja (meurah) Peureulak asli, yaitu suku Sjahril Nuwiy, pembuka pertama negeri Peureulak pada masa lalu, yang bernama maharaja Pho He La Syahril Nuwi. Mungkin nama Po He La pula yang menjadi asal-usul nama Peureulak. Sultan pertama yang dipilih oleh golongan ahlus sunnah wal jamaah di negeri Peureulak adalah Meurah Abdul Qadir Syah yang bergelar Sultan Machdum Ala’ldin Malik Abdul Qadir Syah Johan Berdaulat Zillull-lah Fil Alam.

Pecahnya Peureulak menjadi dua bagian tersebut, membuat negeri itu sering menimbulkan sengketa dan perang saudara. Namun Peureulak kemudian dapat disatukan kembali, setelah pada tahun 375 Hijriah, atau 986 masehi, kerajaan Sriwijaya bermaksud menyerang dan menundukkan negeri Islam Peureulak.

Pada masa itu, Peureulak yang mengikuti aliran Syiah dipimpin oleh Sultan Saiyid Maulana Machmud Syah. Sementara Peureulak bagian ahlus sunnah wal jamaah, dipimpin oleh Sultan Mahmud Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat. Nah, untuk menghadapi agresi dari Kerajaan Sriwijaya itulah, rakyat Peureulak yang terpisah dalam pemerintahan kembar, bersatu kembali di bawah komando sultan masing-masing.

Pada masa peperangan itu pula, tepatnya tahun 377 Hijriah atau 988 Masehi, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Mahmud Syah, yang memerintah golongan syiah, meningal dunia. Karena itu pula, rakyat Peureulak kemudian bersatu di bawah pimpinan Sultan Machdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat.

Perang dengan Kerajaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 395 Hijriah atau 1.006 Masehi. Sriwijaya menarik kembali pasukannya dari Peureulak untuk menghadapi peperangan yang lebih besar dengan kerajaan Darmawangsa di Pulau Jawa. Berakhirnya perang di Peureulak tersebut, membuat para ulama dari Peureulak semakin leluasa menyebarkan agama Islam ke luar Peureulak, bahkan sampai negeri Jawa.

Sampai kini Peureulak tetap saja menjadi sebuah keunikan tersendiri. Kota dengan peradaban tuanya itu, punya rentetan sejarah yang unik dibandingkan dengan daerah lainnya di Aceh. Bahkan ketika Aceh bergolak menentang “Jakarta”, Peureulak merupakan basis dari penetangan tersebut.***
Iskandar Norman

Sumber:
http://iskandarnorman.multiply.com/reviews/item/37

Selasa, 29 Desember 2009

Kerajaan Peureulak Riwayatmu Kini (bagian 2, habis)

Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang. Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak.

DISEBUTKAN bahwa pada tahun 173 H. (800 M) sebuah kapal yang membawa 100 orang angkatan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy, Palestina, Persi dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.

Keahlian yang dimiliki itu kemudian secara berangsur-angsur mulai diterapkan kepada penduduk asli daerah Peureulak. Rupa-rupanya kegiatan mereka di daerah yang baru ditempati itu mendapat simpati rakyat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para angkatan dakwah dengan tidak banyak menghadapi rintangan berhasil mengajak penduduk asli untuk menganut agama Islam.

Kemudian mereka juga mengawini putri-putri dari Peureulak; bahkan salah seorang pemuda Arab Kuraisy dari rombongan nakhoda Khalifah itu, yang bernama: Saiyid Ali berhasil kawin dengan putri istana Peureulak, yaitu dengan adik kandung Meurah Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahir Saiyid Abdul Aziz yang kemudian dikawinkan pula dengan anak sulung Meurah Syahir Nuwi yang bernama Putri Makhdum Khudaiwi. Perkawinan ini merupakan landasan bagi terwujudnya kerajaan Islam Peureulak.

Sebagaimana disebutkan oleh Idharul Haq, bahwa pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa angkatan dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak sekarang dan kota tersebut sampai kini masih ada).

Sultan Abdul Aziz memerintah sampai tahun 249 H (864 M). Setelah pemerintahannya, menurut Idharul Haq, ada 17 orang lagi sultan yang memerintah di Peureulak. Dengan demikian selama berdirinya kerajaan Islam Peureulak terdapat 18 orang sultan dan salah satunya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H = 840-864 M).

Tidak hanya itu, Marco Polo saat pelayarannya permulaan tahun 1292 M menyebutkan, bahwa ketika ia tiba di bagian Utara Pulau Sumatera, ia telah singgah di Ferlec dan menjumpai penduduk asli di kerajaan kecil itu telah memeluk agama Islam. Di sana telah diperlakukan hukum Islam bagi warganya. Para ahli sependapat, bahwa yang dimaksud dengan Ferlec itu tidak lain adalah Peureulak yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Aceh Timur. Kini, sisa-sisa peninggalan Kerajaan Peureulak nyaris terlupakan. Dibutuhkan kerja keras semua pihak untuk kembali membangkitkan ingatan masyarakat bahwa di Peureulak pernah berdiri sebuah kerajaan Islam yang disegani.(iskandar usman al-farlaky)



Makam Sulthan Alaidin

Tgk Abdullah (45) juru kunci makam Sulthan Alaidin Said Maulana Abdul Aziz Syah berdiri di dekat makam pendiri kerajaan Islam pertama Asia Tenggara, Bandar Khalifah Peureulak. Foto direkam Minggu (30/8).SERAMBI/ ISKANDAR USMAN