Selasa, 29 Desember 2009

Kerajaan Peureulak Riwayatmu Kini (bagian 2, habis)

Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang. Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak.

DISEBUTKAN bahwa pada tahun 173 H. (800 M) sebuah kapal yang membawa 100 orang angkatan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Kuraisy, Palestina, Persi dan India di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di bandar Peureulak. Kendati mereka datang sebagai pedagang, namun mereka masing-masing mempunyai keahlian khusus, terutama dalam bidang pertanian, kesehatan, pemerintahan, strategi dan taktik peperangan dan masih banyak lagi.

Keahlian yang dimiliki itu kemudian secara berangsur-angsur mulai diterapkan kepada penduduk asli daerah Peureulak. Rupa-rupanya kegiatan mereka di daerah yang baru ditempati itu mendapat simpati rakyat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para angkatan dakwah dengan tidak banyak menghadapi rintangan berhasil mengajak penduduk asli untuk menganut agama Islam.

Kemudian mereka juga mengawini putri-putri dari Peureulak; bahkan salah seorang pemuda Arab Kuraisy dari rombongan nakhoda Khalifah itu, yang bernama: Saiyid Ali berhasil kawin dengan putri istana Peureulak, yaitu dengan adik kandung Meurah Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahir Saiyid Abdul Aziz yang kemudian dikawinkan pula dengan anak sulung Meurah Syahir Nuwi yang bernama Putri Makhdum Khudaiwi. Perkawinan ini merupakan landasan bagi terwujudnya kerajaan Islam Peureulak.

Sebagaimana disebutkan oleh Idharul Haq, bahwa pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram 225 H (840 M) Saiyid Abdul Aziz resmi dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Islam Peureulak pertama dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Beriringan dengan pengangkatan Sultan pertama itu, ibu kota kerajaan Bandar Peureulak dipindahkan agak ke pedalaman dan namanya diganti dengan Bandar Khalifah sebagai kenang-kenangan kepada Nakhoda Khalifah yang telah berjasa membawa angkatan dakwah ke Peureulak (letaknya kira-kira 6 Km dari kota Peureulak sekarang dan kota tersebut sampai kini masih ada).

Sultan Abdul Aziz memerintah sampai tahun 249 H (864 M). Setelah pemerintahannya, menurut Idharul Haq, ada 17 orang lagi sultan yang memerintah di Peureulak. Dengan demikian selama berdirinya kerajaan Islam Peureulak terdapat 18 orang sultan dan salah satunya Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H = 840-864 M).

Tidak hanya itu, Marco Polo saat pelayarannya permulaan tahun 1292 M menyebutkan, bahwa ketika ia tiba di bagian Utara Pulau Sumatera, ia telah singgah di Ferlec dan menjumpai penduduk asli di kerajaan kecil itu telah memeluk agama Islam. Di sana telah diperlakukan hukum Islam bagi warganya. Para ahli sependapat, bahwa yang dimaksud dengan Ferlec itu tidak lain adalah Peureulak yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Aceh Timur. Kini, sisa-sisa peninggalan Kerajaan Peureulak nyaris terlupakan. Dibutuhkan kerja keras semua pihak untuk kembali membangkitkan ingatan masyarakat bahwa di Peureulak pernah berdiri sebuah kerajaan Islam yang disegani.(iskandar usman al-farlaky)



Makam Sulthan Alaidin

Tgk Abdullah (45) juru kunci makam Sulthan Alaidin Said Maulana Abdul Aziz Syah berdiri di dekat makam pendiri kerajaan Islam pertama Asia Tenggara, Bandar Khalifah Peureulak. Foto direkam Minggu (30/8).SERAMBI/ ISKANDAR USMAN


Kerajaan Peureulak Riwayatmu Kini (bagian 1 dari 2 tulisan)

SITUS peradaban peninggalan kerajaan Peureulak kini seakan terlupakan. Setelah meninggalnya Arifin Amin dan Ali Hasjmy, dua tokoh yang sempat menggagas pembangunan Monument Islam Asia Tenggara (Monisa) di Peureulak, kini situs peninggalan sejarah yang menandakan kebesaran kawasan Peureulak itu mulai kurang diperhatikan.

Kawasan kerajaan yang dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (tempatnya para raja) tidak lagi berbekas sama sekali. Tulisan pada makam-makam para raja terus memudar. Bahkan, sejumlah makam dengan pahatan tulisan kuno telah longsor ke sungai. Sisa-sisa kebesaran Kerajaan Peurelak kini nyaris hilang semua. Padahal, sejarah Peureulak tempo dulu dikenal dengan khazanah budaya Islamnya. Kerajaan yang sudah memiliki mata uang dan kerajaan megah sempat tersohor ke negeri Cina dan disegani pula. Sementara yayasan Monisa yang kini dibentuk terlihat belum mampu berbuat banyak untuk membangkitkan roh sejarah di bumi Nurul A’la itu.

Serambi yang mencoba menelusuri lokasi itu beberapa waktu lalu, menemukan situs kebanggaan tersebut tak terurus dan tidak diberdayakan secara optimal. Kawasan Bandar Khalifah bekas kerajaan yang dipimpin Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah di kawasan Paya Meuligoe nyaris tak berbekas.

Kuburan para sulthan di Desa Bandroeng juga tanpa adanya pemugaran yang berarti. Selain itu, sejumlah situs lain seperti kulam Banta Ahmad yang konon mengeluarkan piring kerajaan dan kuburan Prabu Tapa di Desa Kabu, juga tak mendapat perhatian. Padahal di sana juga pernah tercatat sejarah kegagahan seorang putri yang bernama Nurul A’la sebagai laksamana hebat kala itu. Makamnya kini terdapat di Krueng Tuan, Ranto Peureulak.

Kini hanya tinggal pamplet berukuran kecil yang sudah lapuk terpajang di simpang jalan menuju Paya Meuligoe yang menandakan pernah ada kerajaan Islam di sana. Gagasan pembentukan Monisa juga tidak pernah terwujud sampai hari ini. Satu-satunya cara untuk menguatkan sejarah Peureulak adalah kitab catatan dari buku Abu Ishak Al-Makarani dalam Risalah Idharul-Haq Fil Mamlakatil Peureulak, yang menggambarkan Peureulak sebagai bandar perdagangan yang sangat ramai dikunjungi tahun 173 Hijriah atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh

Tgk Syamsuddin (60) seorang tokoh Peureulak mengakui banyak situs kurang terberdayakan dan banyak anak-anak saat ini yang kurang memahami tentang kerajaan Peureulak itu sendiri. “Mungkin karena tidak ada yang menggerakkan lagi, sehingga pada setiap kesempatan malah tidak disampaikan dan pudar dengan sendirinya. Padahal situs kerajaan Peureulak sudah selayaknya terus dikembangkan agar tidak tergerus zaman,” katanya.

Dikatakannya, dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang disipulkan bahwa Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hal itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy.

Berdasarkan catatan, Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur ketika itu mengemukakan bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang.

Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak. Sebelum agama Islam menjadi kekuatan politik di sana mereka dikenal dengan gelar Meurah. Dengan demikian, bangsawan yang tidak disebutkan namanya itu dapat dianggap sebagai pembangun/peletak dasar pertama Kerajaan Peureulak. Sedang salah seorang anaknya yang “sudah bernama”, yaitu: Meurah Syahir Nuwi disebutkan secara resmi menjadi raja pertama kerajaan Peureulak. (iskandar usman al-farlaky)


Mata uang kerajaan

Sebagian mata uang kerajaan Peureulak yang ditemukan kembali oleh warga. Mata uang itu menyebutkan nama raja pada tahun memimpin dan khas keislaman. Kini mata uang itu juga dipajang di stand Aceh Timur di PKA 5 di Banda Aceh. SERAMBI/ ISKANDAR USMAN