Selasa, 29 Desember 2009

Kerajaan Peureulak Riwayatmu Kini (bagian 1 dari 2 tulisan)

SITUS peradaban peninggalan kerajaan Peureulak kini seakan terlupakan. Setelah meninggalnya Arifin Amin dan Ali Hasjmy, dua tokoh yang sempat menggagas pembangunan Monument Islam Asia Tenggara (Monisa) di Peureulak, kini situs peninggalan sejarah yang menandakan kebesaran kawasan Peureulak itu mulai kurang diperhatikan.

Kawasan kerajaan yang dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (tempatnya para raja) tidak lagi berbekas sama sekali. Tulisan pada makam-makam para raja terus memudar. Bahkan, sejumlah makam dengan pahatan tulisan kuno telah longsor ke sungai. Sisa-sisa kebesaran Kerajaan Peurelak kini nyaris hilang semua. Padahal, sejarah Peureulak tempo dulu dikenal dengan khazanah budaya Islamnya. Kerajaan yang sudah memiliki mata uang dan kerajaan megah sempat tersohor ke negeri Cina dan disegani pula. Sementara yayasan Monisa yang kini dibentuk terlihat belum mampu berbuat banyak untuk membangkitkan roh sejarah di bumi Nurul A’la itu.

Serambi yang mencoba menelusuri lokasi itu beberapa waktu lalu, menemukan situs kebanggaan tersebut tak terurus dan tidak diberdayakan secara optimal. Kawasan Bandar Khalifah bekas kerajaan yang dipimpin Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah di kawasan Paya Meuligoe nyaris tak berbekas.

Kuburan para sulthan di Desa Bandroeng juga tanpa adanya pemugaran yang berarti. Selain itu, sejumlah situs lain seperti kulam Banta Ahmad yang konon mengeluarkan piring kerajaan dan kuburan Prabu Tapa di Desa Kabu, juga tak mendapat perhatian. Padahal di sana juga pernah tercatat sejarah kegagahan seorang putri yang bernama Nurul A’la sebagai laksamana hebat kala itu. Makamnya kini terdapat di Krueng Tuan, Ranto Peureulak.

Kini hanya tinggal pamplet berukuran kecil yang sudah lapuk terpajang di simpang jalan menuju Paya Meuligoe yang menandakan pernah ada kerajaan Islam di sana. Gagasan pembentukan Monisa juga tidak pernah terwujud sampai hari ini. Satu-satunya cara untuk menguatkan sejarah Peureulak adalah kitab catatan dari buku Abu Ishak Al-Makarani dalam Risalah Idharul-Haq Fil Mamlakatil Peureulak, yang menggambarkan Peureulak sebagai bandar perdagangan yang sangat ramai dikunjungi tahun 173 Hijriah atau tahun 800 Masehi. Karena itu pula Peureulak disebut sebagai salah satu kota peradaban tertua di Aceh

Tgk Syamsuddin (60) seorang tokoh Peureulak mengakui banyak situs kurang terberdayakan dan banyak anak-anak saat ini yang kurang memahami tentang kerajaan Peureulak itu sendiri. “Mungkin karena tidak ada yang menggerakkan lagi, sehingga pada setiap kesempatan malah tidak disampaikan dan pudar dengan sendirinya. Padahal situs kerajaan Peureulak sudah selayaknya terus dikembangkan agar tidak tergerus zaman,” katanya.

Dikatakannya, dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang disipulkan bahwa Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Hal itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy.

Berdasarkan catatan, Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur ketika itu mengemukakan bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Parsi telah mengenal nama negeri Peureulak dengan sebutan Taji Alam. Kemudian sekitar tahun 670 M seorang bangsawan Parsi yang selama pengembaraannya telah kawin dengan seorang puteri Siam datang ke Taji Alam dengan maksud berdagang.

Bangsawan inilah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Peureulak. Sebelum agama Islam menjadi kekuatan politik di sana mereka dikenal dengan gelar Meurah. Dengan demikian, bangsawan yang tidak disebutkan namanya itu dapat dianggap sebagai pembangun/peletak dasar pertama Kerajaan Peureulak. Sedang salah seorang anaknya yang “sudah bernama”, yaitu: Meurah Syahir Nuwi disebutkan secara resmi menjadi raja pertama kerajaan Peureulak. (iskandar usman al-farlaky)


Mata uang kerajaan

Sebagian mata uang kerajaan Peureulak yang ditemukan kembali oleh warga. Mata uang itu menyebutkan nama raja pada tahun memimpin dan khas keislaman. Kini mata uang itu juga dipajang di stand Aceh Timur di PKA 5 di Banda Aceh. SERAMBI/ ISKANDAR USMAN

Kamis, 06 November 2008

Kesulatanan Perlak


Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.

Naskah Aceh

Naskah Hikayat Aceh m
engungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.

Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.

Perkembangan dan pergolakan

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

  • Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
  • Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Penggabungan dengan Samudera Pasai

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

  • Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
  • Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

Daftar Sultan Perlak

Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.

  1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840 – 864)
  2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864 – 888)
  3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 – 913)
  4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915 – 918)
  5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)
  6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)
  7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956 – 983)
  8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
  9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059)
  10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
  11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
  12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
  13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
  14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)
  15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200)
  16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
  17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230 – 1267)
  18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)

Disadur dari Wikipedia ensiklopedia bebas